Dalam pembangunan nasional
diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Kualitas Sumber Daya
Manusia tersebut ditingkatkan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan tersebut
dimulai dari tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai dewasa muda. Pada masa
tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti sandang, pangan, dan
papan. Selain itu, peningkatan kesehatan juga penting untuk dilakukan.
Salah satu masalah peningkatan
kesehatan adalah masalah gizi. Masalah ini adalah masalah kesehatan masyarakat
yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan
pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan
ditingkat rumah tangga (kemampuan memperoleh makanan untuk semua anggotannya), masalah
kesehatan, kemiskinan, pemerataan, dan kesempatan kerja. Keadaan gizi
masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang
merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan
nasional. Hal ini menjadi menarik sehingga penulis mengambil tema tentang
masalah gizi buruk yang mempengaruhi tingkat kesehatan.
Masalah-masalah
gizi buruk bisa menyerang siapa saja
khususnya anak-anak usia sekolah. Di sini penulis mengambil topik gizi buruk
berupa faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk dan dampak pada anak-anak
yang mengalami gizi buruk.
Status gizi
dan kesehatan yang baik dapat menekan kematian anak seminimum mungkin. Di
samping itu, membaiknya status gizi akan berpengaruh terhadap kesehatannya
kelak pada umur remaja dan dewasa.
Selanjutnya,
gizi buruk adalah suatu kondisi seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau
status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata (http://www.lusa.web.id/gizi-buruk/). Kasus
gizi buruk umumnya menimpa anak-anak karena berbagai faktor. Selain itu, gizi buruk
dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Anak-anak yang menderita gizi
buruk akan mudah untuk terkena penyakit atau bahkan meninggal dunia akibat efek
sampingnya. seperti seharusnya (kerdil) dengan berat badan di bawah normal.
Kata “gizi”
berasal dari bahasa Arab ghidza, yang
berarti “makanan”. Ilmu gizi bisa berkaitan dengan makanan dan tubuh manusia.
Dalam bahasa Inggris, food menyatakan makanan, pangan dan bahan makanan. (http://www.lusa.web.id/konsep-dasar-ilmu-gizi/).
Dalam bahasa Inggris, food menyatakan makanan, pangan dan bahan makanan. (http://www.lusa.web.id/konsep-dasar-ilmu-gizi/).
Pengertian
gizi terbagi secara klasik dan masa sekarang yaitu secara klasik gizi hanya
dihubungkan dengan kesehatan tubuh (menyediakan energi, membangun, memelihara
jaringan tubuh, mengatur proses-proses kehidupan dalam tubuh). Pengertian
sekarang, selain untuk kesehatan, juga dikaitkan dengan potensi ekonomi
seseorang karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak, kemampuan belajar,
produktivitas kerja. (http://www.lusa.web.id/konsep-dasar-ilmu-gizi/).
Sedangkan,
pengertian menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), gizi adalah zat makanan
pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kesehatan badan. Dari berbagai
pengertian tersebut, gizi mencakup dua komponen yaitu makanan dan kesehatan.
Dalam
pembangunan nasional, gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas
sumber daya manusia. Gizi buruk tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan
angka kematian tetapi juga menurunkan produktifitas, menghambat pertumbuhan
sel-sel otak yang mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan. Padahal gizi
diperlukan untuk tumbuh kembang anak dari balita sampai dewasa sehingga bisa
menjadi generasi muda yang sehat.
Dalam
pencapaian kesehatan yang optimal memerlukan makanan yang mengandung gizi.
Zat-zat yang diperlukan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan ini
dikelompokan menjadi lima macam, yakni protein, lemak, karbohidrat, vitamin,
dan mineral. Fungsi-fungsi zat makanan itu antara lain sebagai berikut:
A.
Protein, diperoleh dari makanan yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yaitu protein hewani dan protein nabati.
Protein hewani biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan protein nabati. Sedangkan fungsi protein bagi tubuh adalah membangun
sel-sel yang rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, dan
membenruk zat inti energi (1 gram energi kira-kira akan menghasilkan 4,1
kalori) (Notoatmojo, 2003:196).
B.
Lemak, berasal dari minyak goreng,
daging, margarin, dan sebagainya. Fungsi pokok lemak adalah menghasilkan kalori
terbesar dalam tubuh manusia, sebagai pelarut vitamin A, D, E, K, dan pelindung
tubuh tertentu (Notoatmojo, 2003:196).
C.
Karbohidrat, berasal dari kentang,
ubi jalar, talas, jagung, padi, dan gandum. Fungsinya sebagai sumber energi,
mempertahankan kadar air dan garam natrium, komponen jaringan tubuh, merangsang
pertumbuhan bakteri usus, dan menurunkan kolesterol tubuh (Nursayonto dkk via
Sumardi dkk, 2008:69).
D.
Vitamin, terdiri dari vitamin yang
larut dalam air (vitamin A dan B) dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin
A, D, E, K). Secara umum fungsi vitamin adalah untuk mengatur pertumbuhan dan
mengatur fungsi organ tubuh (Prawirohartono dkk, 1993:44).
E.
Mineral, terdiri dari zat kapur
(Ca), zat besi (Fe), zat fluor (F), natrium
(Na), Chlor (Cl), Kalium (K), dan Iodium (I). Secara umum mineral mempunyai fungsi sebagai bagian
dari zat yang aktif dalam metabolisme atau sebagai bagian dari struktur sel dan
jaringan (Notoatmojo, 2003:197).
Selanjutnya,
masa anak sekolah adalah masa usia 6—12 tahun. Masa itu adalah masa pertumbuhan
dan perkembangan tubuh awal. Anak-anak yang tidak terpenuhi gizi di masa
tersebut, maka perkembangan dan pertumbuhan dalam diri seorang anak tidak dapat
dikembangkan secara optimal, misalnya sering terserang penyakit. Selain itu,
apabila makanan yang dikonsumsi tidak mengandung zat-zat makanan seperti
protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral, juga akan bermasalah dalam
tumbuh kembang anak. Hal ini akan berpengaruh pada masa dewasa dan generasi
muda, dan menghambat keberhasilan pembangunan nasional.
Selain itu,
ada berbagai faktor yang mempengaruhi gizi buruk pada anak. Secara garis besar
dikelompokkan ke dalam tiga lingkungan faktor yang besar, yaitu lingkungan
biologi, lingkungan fisik dan lingkungan psikososial. (Restiti, 1999:8).
A.
Lingkungan biologi
Lingkungan biologi terdiri dari
faktor-faktor sebagai berikut:
1.
Tingkat konsumsi gizi
Zat gizi
merupakan unsur penting untuk membentuk dan mengganti sel-sel yang rusak
termasuk otak, mengatur proses kerja fisiologis dan sebagai sumber tenaga. Oleh
karena itu, asupan zat gizi dalam jumlah yang seimbang mutlak diperlukan pada
berbagai tahap tumbuh kembang manusia termasuk pada anak-anak.
Kualitas
konsumsi makanan bisa dilihat dari kemampuan rata-rata individu untuk mencapai
konsumsi nilai gizi makanan sesuai dengan kecukupan yang dianjurkan. Dalam
Repelita VI telah ditetapkan bahwa kecukupan konsumsi rata-rata per orang per
hari untuk energi adalah 2150 kilokalori. Selain angka kecukupan yang perlu
diperhatikan dalam menilai kualitas konsumsi makanan adalah komposisi jenis
pangan. Jenis pangan yang beraneka ragam merupakan persyaratan penting untuk
menghasilkan pola pangan yang bermutu gizi seimbang.
2.
Infeksi Penyakit
Mekanisme
kerja antara status gizi dan penyakit cukup kompleks. Penyakit infeksi melalui
penurunan selera makan dan peningkatan kebutuhan waktu sakit dapat diikuti oleh
penurunan keadaan gizi. Sebaliknya penderita taraf gizi kurang memiliki daya
tahan rendah, sehingga lebih peka terhadap penularan penyakit infeksi. Penyakit
yang dideritanya akan berlangsung parah dan lama sehingga berakibat terhadap
pertumbuhan fisiknya.
Penyakit
infeksi masih menjadi masalah kesehatan anak di Indonesia. Sebagian dari penyakit
infeksi tersebut disebabkan oleh penyakit menular. Menurut data yang
dikumpulkan Setiady (1978) menunjukkan bahwa dari lima juta bayi yang lahir
tiap tahun, kira-kira 600.000 akan meninggal sebelum mereka mencapai umur satu
tahun dan dari jumlah kematian tersebut lebih dari 100.000 akan meninggal
karena penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (Setiady via
Restiti, 1999:10).
B.
Lingkungan Fisik
Faktor-faktor
yang termasuk dalam lingkungan fisik antara lain sebagai berikut:
1.
Ketersediaan pangan
Ketersediaan
pangan yang cukup bagi masyarakat merupakan sarana potensial untuk mengatasi
permasalahan gizi. Sebagai upaya agar setiap individu mampu mengkonsumsi gizi
yang berkualitas dan berkuantitas harus didukung pula dengan adanya
ketersediaan pangan sampai pada tingkat keluarga. Ketersediaan pangan ini juga
perlu didukung daya akseptabilitas rumah tangga terutama dari faktor daya beli
keluarga.
Keadaan gizi
penduduk erat kaitannya dengan kemampuan penyediaan pangan baik di tingkat
keluarga, maupun wilayah. Apabila bahan makanan yang tersedia cukup dan beragam
serta didukung dengan pengetahuan gizi yang baik di kalangan masyarakat, maka
dapat diharapkan konsumsi pangan dan zat gizi dapat mencapai tingkat
kecukupannya. Keadaan ini akan mampu menciptakan status gizi yang baik apabila
tidak terdapat gangguan infeksi di dalam tubuh.
2.
Faktor Sanitasi Lingkungan
Sanitasi
lingkungan memiliki peran yang cukup dominan dalam menciptakan lingkungan yang
mendukung kesehatan anak dan masa pertumbuhannya. Kebersihan perorangan maupun
lingkungan memegang peranan penting dalam timbulnya penyakit. Akibat dari
kebersihan yang kurang maka anak-anak akan mudah terinfeksi oleh berbagai
penyakit misalnya diare, kecacingan, tifus
abdominalis, hepatitis, malaria dan lain-lain.
Selain itu,
faktor pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat merupakan hal yang sangat
penting dan dalam banyak hal merupakan faktor penentu kondisi lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan. Selain itu, polusi yang berasal dari pabrik, asap
kendaraan, atau asap rokok dapat berpengaruh terhadap tinggnya angka kejadian
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Pada anak yang sering mengalami
gangguan penyakit ini maka proses pertumbuhan juga akan mengalami gangguan.
C.
Lingkungan Psikososial
Lingkungan psikososial terdiri dari
faktor-faktor sebagai berikut:
1.
Keadaan sosial ekonomi
Timbulnya
masalah gizi sangat erat kaitannya dengan masalah kemiskinan. Oleh sebab itu,
upaya terbaik untuk mengatasi masalah gizi dengan memberdayakan masyarakat
miskin melalui peningkatan pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi ini akan
meningkatkan pendapatan yang akan berpengaruh terhadap konsumsi makanan dalam
keluarga. Di beberapa negara berkembang masyarakat miskin hampir membelanjakan
pendapatannya khusus untuk makanan (di India Selatan keluarga miskin
menghabiskan 80% anggaran belanjanya untuk makanan), sedangkan di negara maju
hanya 45%. Hasil survey yang dilakukan Hertanto (1993) pada keluarga miskin di
Kelurahan Bandarharjo menyatakan bahwa lebih dari separuh responden
membelanjakan 60% dari total pengeluaran untuk pangan (Hertanto via Restiti,
1999:14).
Pendapatan
yang rendah menyebabkan orang tidak mampu membeli bahan pangan dan non pangan
dalam jumlah yang diperlukan. Badan Pusat Statistik (1993) menyebutkan bahwa
garis kemiskinan dinyatakan sebagai bersarnya pengeluaran untuk memenuhi 2100
kalori per hari dan kebutuhan minimal makanan ditambah dengan kebutuhan minimal
bukan makanan seperti perumahan, bahan bakar, sandang, pendidikan, kesehatan,
dan transportasi (Badan Pusat Statistik via Restiti, 1999:15). Dengan demikian keadaan sosial ekonomi sangat
berpengaruh terhadap perbaikan gizi. Jika keadaan sosial ekonomi rendah, orang
menjadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Hal ini menyebabkan gizi buruk
meningkat.
2.
Faktor pendidikan
Keadaan gizi
seorang anak dipengaruhi oleh perilaku orang tuanya. Jika orang tuanya memiliki
pengetahuan yang tinggi tentang kesehatan dan gizi, akan semakin tinggi pula
tingkat kesehatan dan gizi keluarganya. Ini akan mempengaruhi kualitas dan
kuantitas zat gizi yang dikonsumsi oleh anggota keluarga khususnya anak.
Tersedianya
fasilitas dan sarana pendidikan yang memadai juga merupakan salah satu faktor
penunjang keberhasilan pendidikan masyarakat sehingga pengatahuan masyarakat
akan meningkat. Fasilitas dan sarana pendidikan yang cukup akan memberikan
kesempatan belajar kepada anggota masyarakat.
Selanjutnya,
di usia sekolah, anak-anak bergizi buruk dan gizi kurang tidak akan dapat
berfikir cerdas, karena sel-sel otaknya tidak tumbuh maksimal. Anak yang
otaknya mengecil ini tidak bisa diperbaiki karena periode pertumbuhan otaknya
sudah terlewati (Suryati, 2010:14). Selain itu, ada berbagai dampak penyakit
yang ditimbulkan karena gizi buruk yaitu penyakit Kurang Kalori dan Protein
(KKP), anemia (penyakit kurang
darah), Zerophthalmia (Defisiensi
vitamin A), dan Kwashiorkor
(defisiensi protein). Dampak penyakit tersebut sebagai berikut:
A.
Penyakit Kurang Kalori Protein (KKP)
Penyakit ini
terjadi karena ketidakseimbangan antara konsumsi kalori atau karbohidrat dan
protein dengan kebutuhan energi, atau terjadi defisiensi atau defisit energi
dan protein (Notoatmodjo, 2003:199). Pada anak-anak, KKP dapat menghambat
pertumbuhan, rentan terhadap penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya
tingkat kecerdasan (Almatsier, 2009:307). Selain itu, apabila konsumsi makanan
tidak seimbang dengan kebutuhan kalori, maka akan terjadi defisiensi kalori dan
protein.
B.
Anemia (Penyakit
kurang darah)
Anemia adalah defisiensi hemoglobin dalam darah yang
disebabkan oleh kekurangan sel darah merah dan/atau kandungan hemoglobinnya
(Hinchliff, 1999:20). Penyakit ini terjadi karena konsumsi zat besi (Fe) pada
tubuh tidak seimbang atau kurang dari kebutuhan tubuh (Notoatmodjo, 2003:200).
Padahal zat besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, yang sangat
diperlukan dalam pembentukan darah, yakni dalam hemoglobin (Hb). Jika anak-anak
kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi (Fe), bisa menyebabkan
kurang gizi besi yaitu Anemia.
C.
Zerophthalmia
(Defisiensi vitamin A)
Penyakit ini
disebabkan kekurangan konsumsi vitamin A di dalam tubuh. Ini mempunyai peranan
penting dalam sebagai penyebab kebutaan anak. Gejala-gejala yang ditimbulkan
adalah kekeringan epithel biji mata dan kornea, karena glandula lakrimaris menurun, bola mata keriput dan kusam bila biji
mata bergerak. Fungsi vitamin A mencakup, fungsi dalam proses melihat,
metabolisme, dan reproduksi. Kekurangan vitamin A dapat dicegah dengan cara
penyuluhan gizi tentang makanan-makanan yang bergizi, khususnya makanan-makanan
sebagai sumber vitamin (Notoatmojo, 2003:201).
D.
Kwashiorkor (Defisiensi
protein) dan marasmus
Kwashiorkor disebabkan oleh defisiensi protein. Pada umumnya,
penyakit ini disebut busung lapar. Makanan yang dimakan biasanya kurang
mengandung nutrien. Penampilan anak-anak yang menderita penyakit ini umumnya
khas, terutama pada bagian perut yang menonjol. Berat badannya jauh di bawah
berat normal. Tanda-tanda kwashiorkor
meliputi wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu, perubahan status
mental (cengeng, rewel, kadang apatis), rambut kusam, dan bercak merah coklat
pada kulit (Alatas dan Rusepno, 1985:362). Sedangkan marasmus karena kurang
karbohidrat. Pada keadaan ini ialah pertumbuhan yang kurang atau terhenti.
Gejala-gejala yang ditimbulkan yaitu tangan dan kaki bengkak, perut buncit,
rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Pada umumnya penderita tampak lemah
sering digendong, rewel, dan banyak menangis (Alatas dan Rusepno, 1985:365).
Jadi, gizi
buruk pada anak usia 6—12 tahun disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan.
Faktor tersebut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu lingkungan biologi,
lingkungan fisik, dan lingkungan psikososial. Lingkungan biologi berupa tingkat
konsumsi gizi dan infeksi penyakit, lingkungan fisik berupa kesediaan pangan
dan sanitasi lingkungan, sedangkan lingkungan psikososial berupa keadaan sosial
dan tingkat pendidikan. Berbagai faktor tersebut menimbulkan berbagai dampak
penyakit karena sel-sel otaknya tidak tumbuh maksimal. Dampak penyakit yang
ditimbulkan yaitu penyakit Kurang Kalori dan Protein (KKP), anemia (penyakit kurang darah), Zerophthalmia (Defisiensi vitamin A),
dan Kwashiorkor (defisiensi protein).
Jika anak usia sekolah (6—12 tahun) tidak terpenuhi gizi, perkembangan dan
pertumbuhan dalam diri seorang anak tidak dapat dikembangkan secara optimal.
Selain itu, anak tersebut bisa terserang berbagai dampak penyakit. Oleh karena
itu, makanan yang dikonsumsi harus mengandung zat-zat makanan seperti protein,
lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Hal ini akan berpengaruh pada masa
dewasa dan generasi muda yaitu untuk melancarkan keberhasilan pembangunan
nasional.
Sumber:
Asih, Laksmi. 2010. “Gizi Buruk pada Anak Usia Sekolah
Dasar”. Makalah Bahasa Indonesia Semester 1. Tidak Diterbitkan.
Restiti, Niluh Putu Ratih. 1999. ”Faktor-Faktor yang
Behubungan dengan Prevalensi Anak Batita Bawah Garis Merah di Propinsi Jawa
Tengah”. Skripsi Sarjana Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Tidak diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar